***SELAMAT DATANG DI WEBSITE QUHAS SCHOOL YPT DAR AL-MASALEH JAMBI***

Aku dan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

 


Aku dan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Khairani Sapitri 


Menurutku, berbagi adalah sesuatu yang indah, apalagi itu bisa menumbuhkan serta membangun semangat membara dalam jiwa seseorang. Dan dalam tulisan ini akan kusampaikan beruntai-untai kalimat dari imajinasi otakku, lebih tepatnya cerita jiwa yang benar-benar kualami selama 17 tahun hidup sebagai seorang ‘manusia'.

Rasanya terlalu cepat waktu berpacu selama ini, hingga tak terasa kini aku sudah berada di bangku perkuliahan yang pada kenyataannya akan sangat berbeda dengan jenjang pendidikan 12 tahun  silam. Dan sudah beberapa kali jika kuhitung, rasa yakin dan pesimis terasa imbang untuk kujadikan sebuah cambuk hidup bagi jiwa dan raga yang tak selaras ini. Namun, kini aku sudah melewati tahapan awal sebagai seorang remaja, dan kini sudah menyandang gelar mahasiswa di UIN STS

Jambi sebagai bagian baru dalam keluarga Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Sebuah bidang yang sama sekali tak kupikirkan akan menjadi bagian dari tiap patok perjalanan hidup seorang Khairani Sapitri, perempuan kelahiran Jambi 18 Agustus 2003 yang sayangnya menyukai dunia sastra dan ilmu fisika dan berangan-angan ingin menjadi seorang ilmuwan, dosen, sekaligus penulis di masa yang akan datang. Benar-benar aneh namun masih terus kujadikan target hidup pasti agar bisa membalas segala jasa kedua orang tuaku di masa tua mereka nanti.

IAT sejujurnya bukanlah pilihan pertama yang ingin kujadikan bagian dalam nominasi jurusan di beberapa PTN yang ingin aku pilih sewaktu di Aliyah. Bahasa Indonesia, Fisika, dan Geofisika adalah pilihan paling pertama dalam benakku sejak naik ke kelas XI di bangku Aliyah, dan itu memang jurusan yang sudah kuyakini dan kupikirkan dengan sangat matang. Dan lagi-lagi, jika kuminta pendapat kedua orang tuaku soal apa yang hendak kuperjuangkan selepas lulus Aliyah, hanya kata agama yang terlintas di benak keduanya. Aku tersenyum kecil sembari menghela napas dengan tertahan, ingin rasanya bertindak egois dan bersikap berani untuk pertama kalinya di depan kedua orang tuaku saat itu, namun aku tak tega untuk melakukannya-aku takut mereka menangis bila diriku egois-dan ini mungkin untuk kesekian kalinya diriku diam dan mengalah lagi.

Sejujurnya, sejak kecil aku selalu imbang untuk mempelajari semua pelajaran, tidak TK dan langsung masuk SD dibarengi dengan belajar di madrasah ketika sore hari, lalu lanjut ke MTs An-Nizham dengan uang hasil tabunganku sendiri dan lagi-lagi melanjutkan perjalanan pendidikanku ke MA Laboratorium dengan kedok agar pulang pergi bisa berjalan kaki dan ditambah lagi dengan beasiswa dari MTs karena menjadi siswa berprestasi. Tak banyak yang tahu tentang diriku, termasuk mamak yang terlihat paling semangat soal pendidikanku  ituditambah lagi kabar beasiswa yang seolah-olah adalah fatamorgana dan mamak bagaikan seonggok tubuh kurus kering setengah mati yang tergeletak naas di gurun Sahara. Saat itu aku tersenyum lebar karena bisa melihat pancaran kebahagiaan dalam manik mata sayu beliau,  tak ingin merusak euforia yang saat itu melanda karena betapa histeris dan gemparnya seisi rumah akibat seruan kebahagiaan mamak. Sudah persis bagai pemenang door prize jalan santai di gubernuran dengan air mata yang meluber hingga membasahi bagian atas jilbabnya, dan kami penghuni seisi rumah hanya bisa tersenyum sembari menahan tawa karena betapa kocaknya bentuk muka mamak yang terlihat di netra kami masing-masing.

Kita tinggalkan sejenak keharuan cerita mamak di atas. Karena sekarang, aku ingin menceritakan pokok permasalahan dan inti dari cerita ini-tentang alasan dan latar belakang terpilihnya UIN STS Jambi dan jurusan IAT olehku di saat aku bahkan baru memasuki umur 16 tahun-kelas XII. Dan itu karena sebuah masalah di rumah dan beberapa contoh cerita nyata yang sempat terpikirkan olehku di malam harinya. Sebuah peristiwa pilu yang tak sengaja terekam jelas oleh indra pendengaran ini ketika melewati kamar bapak dan mamak, sebuah bentakan dan tangis dari mamak terdengar sangat jelas dari tempatku berdiri sambil gemetar menahan tangis. Dan sejak saat itu, aku mengucapkan salam perpisahan pada mimpi-mimpi besarku itu sambil tersenyum namun dalam keadaan yang benarbenar tidak baik. Dan di saat genting seperti itu, seseorang datang ke dalam mimpiku dengan senyum mengembang dan beberapa buku yang terlihat didekap oleh wanita setengah baya itu dengan sangat erat di depan dada. Dan karena beliau, aku sedikit berpikir dan mencoba mengerti keadaan keluargaku yang terbilang kurang mampu untuk menyekolahkan dua pasang anak yang masih ingin meneguk enaknya pendidikan wajib belajar 12 tahunnya.

Keesokan harinya aku mulai mendatangi perpustakaan daerah di belakang gedung UIN STS Jambi untuk Pascasarjana dengan menggunakan sepeda punya sepupu, mencoba memahami apa itu agama dan jenis bidang pengaplikasiannyajurusan. Selang beberapa hari kupusatkan kegiatan membaca buku-buku islami di sana, aku merasa telah jatuh hati pada bidang itu, terlebih lagi ada mahasiswa IAT yang pernah diajak ibu-ibu masjid ketika bulan puasa tahun lalu dan aku ada di antara desak dan sesaknya bahkan untuk sekadar duduk bersimpuh sambil mendengarkan kajian kakak itu dalam membahas beberapa ayat Al-Qur’an. Benarbenar aneh, kenapa bisa begitu cepat aku mencintai bidang itu ?! Ini hampir sama cepatnya dengan aku mencintai bidang pilihanku sendiri yang tentunya sesuai dengan kemampuan dan bakat diriku. Keren sekali diriku ini, terlalu mudah jatuh hati pada bidang lain padahal tak punya bakat yang berkaitan dengannya sama sekali.

Lambat laun semua berjalan dengan sangat cepat, dan fokusku terpecah di antara inginnya aku mengasah lebih tajam kemampuanku di bidang bahasa dan fisika, juga mengenal lebih jauh yang namanya pelajaran soal menafsirkan Al-

Qur’an sesuai kaidah yang baik dan benar. Dan akhirnya pilihan hati kecilku jatuh pada IAT dengan aura para guru di kantor yang seolah memecahkan ketenangan atmosfer di sana, aku menegak saliva dengan penuh kehati-hatian, semua seolah ingin menerkamku atas ucapan tegas dan lantang dariku saat seorang guru SKI menanyai apa pilihanku di jenjang pendidikan selanjutnya yaitu IAT.

“Kan ibu sudah kasih saran untuk ambil jurusan fisika saja, karena kamu pandai di bidang itu.” Guru fisikaku menyela dengan raut wajah kecewa, aku tergelak seketika.

Lalu guru agama lain berdiri dari kursinya dan mendekatiku. “Kenapa tidak ambil jurusan PAI saja, Khairani, bapak yakin kamu akan bisa dengan mudah mengembangkan bakat mengajarmu kelak.”

“Apa yang bisa dihasilkan dari jurusan itu untukmu, Ran? Padahal kamu sudah menguasai lebih dalam bidang kepandaianmu sendiri, apa ini permintaan kedua orang tuamu?” Aku terkejut, apa sebegitu tampaknya ketidakrelaanku saat menjawab jurusan yang akan kupilih tadi? Padahal aku sudah sangat yakin, mengapa jadi ragu kembali? Argh..! Kenapa keraguan menyelimuti benak kalutku kembali?!

“Termasuk itu juga, Bu. Tapi Rani benar-benar yakin kok bisa mempelajari bidang ini dengan semangat, soalnya sepertinya seru dan menantang untuk Rani pelajari.” Jawabku dengan napas menggebu di dada dan sedikit senyum lebar yang kuberi sebagai pemanis agar para guru di kantor semakin yakin dan mau mendukung pilihanku saat itu.

Huh? Seru dan menantang? Yang benar saja Rani, jurusan bukan sesuatu yang bisa kamu anggap permainan dan dapat diselesaikan dengan mudah, kamu itu bakatnya di linguistik dan juga sains, kenapa malah menyimpang ke ranah baru?” seru wali kelasku yang baru saja keluar dari tempat pengambilan air minum kantor, beliau memang mendukungku untuk mengambil jurusan bahasa di UNJA sejak kelas XI.

“Sudahlah Pak, Bu. Murid kita yang satu ini ingin mempelajari bidang yang tak diajarkan di sekolah ini, jika dia bersungguh-sungguh dan yakin untuk itu maka kita sebagai orang tua keduanya di sekolah wajib mendukung. Benar tidak, Ran?” Salah seorang guru yang kebetulan Waka kurikulum menyela dan tersenyum penuh arti padaku. Ah... Rasanya bahagia sekali ada yang mendukung keinginanku di saat genting seperti saat itu.

Guru SKI yang berada di sampingku langsung memegang kedua bahuku erat, menatap dalam-dalam netra cokelat tua milikku.

“Ya sudah, ibu akan dukung kamu, tapi ingat ya, Rani, kami semua tidak ingin mendengar kamu menyerah di tengah jalan. Kami semua bangga memilikimu sebagai anak didik di sini, jadi pulanglah kembali jika sudah sukses kelak, ya? Kamu anak yang cerdas dan berbakat, bahagiakan mamak dan bapakmu itu dengan segenap jiwa dan ragamu.” Sebuah pelukan hangat menyatu begitu saja pada tubuh kurus keringku, sosok wanita berumur yang dulu ingin mengangkatmu menjadi anaknya dulu ketika awal kelas X mendekapku erat sambil terisak. Dan semua yang ada di dalam ruangan bernuansa putih itu juga terlihat berkaca-kaca seolah ingin menumpahkan tangis mereka untukku, padahal belum tamat tapi sudah menangis berjamaah dalam kantor. Ya Salam... Antara ingin tertawa tapi dalam keadaan air mata tumpah ke mana-mana, bahkan ingus pun hendak turun aksi dalam tragedi haru kala itu. Hahaha.

Dan kini, di sinilah aku berdiri dengan mantapnya, titik terang dari segala keluh kesah dan tantangan yang menjadi pemanas diri dalam mencari kebenaran tentang tujuan dan jati diriku sendiri. Sebuah instansi yang terkenal dengan warna birunya, ramahnya setiap warga kampus di dalamnya, dan keluarga baruku yang bernama IAT. Kerja sampingan yang menguras tenaga, kejar target nilai raport tinggi, terus menulis di waktu luang, meng-handle dua rumah sekaligus, dan tetap menjadi keluarga TPA di masjid sebagai kakak sekaligus guru bagi anak-anak kecil dengan jiwa nakal dan ingin tahu mereka yang tinggi sepertiku dulu. 

Pilihan tepat ini mengajarkan sebuah ibrah yang benar-benar penting, karena saat ini leher para muslim seolah tercekik, dada mereka sesak, dan hati tercabik dengan keadaan Islam saat ini. Dan aku ingin menjadi salah satu bagian dari revolusi Islam yang lebih baik lagi lewat pengamalan Al-Qur'an sesuai manhaj yang diajarkan oleh sahabat nabi SAW. Dan juga ini sesuai dengan atsar yang cukup populer, dikatakan bahwa : “ Jadilah Anda Al-Qur’an yang berjalan di antara manusia.”

IAT memang baru bagiku, tapi bahasa dan fisika tetap bisa kupelajari sebagai pendamping harian belajarku. Karena bapak sering bilang : Tidak ada hidup yang tidak pernah terbanting dan jatuh, karena keras rasa sakit itu kamu akan mengerti bahwa tidak ada yang sia-sia dari suatu usaha. Karena setiap usaha itu akan terjalin dan akhirnya menuntun kita pada jawaban yang dinanti-nanti. Di situ bapak mengujiku, beliau tahu bahwa aku ingin pengakuan darinya sejak SD duludipuji dan diberi selamat ketika menjadi juara umum bahkan pemenang lomba layaknya putri lain kepada ayahnya. Tapi aku cukup tahu diri, karena didikan keras dari bapak aku sedikit jadi acuh terhadap hidup orang lain dan bagaimana mereka yang dulu menertawakanku, karena aku setuju dengan perkataan dari eyang Habibie: “Tidak ada suatu negara maju tanpa pendidikan yang keras.”

Terima kasih untuk mamak dan bapak, aku akan menepati janjiku. Sungguh.

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Gambar tema oleh Ollustrator. Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget